Sabtu, 31 Januari 2015

Selamat Tahun Baru Untuk Kisah Lama


Hai, Sayang.

Duh, maaf. Masih kebiasaan. Maksud saya, Hai, Jo.

Jo. Surat ini untuk kamu. Pertemuan kita yang direncakan semesta beberapa hari lalu terlalu singkat untuk membiarkan rindu saling terlepas dari dada masing – masing. Ah, saya masih selalu suka menggunakan kata “kita” untuk pengganti “saya dan kamu”. Seperti biasa jika itu tentang kamu, saya menjadi sangat mudah bahagia. Saya tulis surat untuk kamu karena saya rasa itu perlu. Meskipun tidak kamu baca, paling tidak saya sudah menulisnya. Maaf, maksudnya gimana? Tolong jelaskan. Oke, lupakan.

Jo, waktu itu gerobak nasi goreng jadi saksi bisu (dan buta dan berminyak dan keling dan catnya sudah pudar dan lain - lain) pertemuan kita setelah sekian lama. Entahlah, dari sekian banyak gerobak nasi goreng kenapa kita harus bertemu di depan gerobak nasi goreng itu. Sangat tidak romantis. Dan sangat tidak classy seperti kata temen saya yang suka bahasa inggris but just setengah – setengah. The last time kita ketemu is in front of gang rumah saya kan? Kamu masih ingat? Saya yang memakai piyama kucel, jilbab ala ibu – ibu serta sandal jepit yang kiri dan kanan warnanya gak sama, sedang jelek – jeleknya menangisi hubungan kita yang harus berakhir bahkan tanpa persetujuan dari kita berdua. Tangis saya menggema di ujung gang. Untung kang ojek uda pada setoran ke istri jadi tidak akan ada tatapan aneh ataupun kepo dari orang sekitar. Maklum, ujung gang saya sepi. Meskipun beberapa kali teriakan kang sate keliling memecahkan konsentrasi dan alunan ritme tangis saya, namun semuanya tetap sama. Saya tetap sakit. Sakit sekali. Huft.

Di samping gerobak nasi goreng yang diterangi lampu strongkeng itu, kita berdiri. Kamu menyilangkan tangan depan dada dan saya memasukkan tangan dalam kantong jaket berwarna hot pink keabu-abuan karena pengaruh ekstrak debu jalanan kota. Masih dengan jilbab ala ibu – ibu saya, saya mencoba bertahan di samping gerobak itu meskipun kaki saya sebenernya sudah ingin berlari menjauh dari kamu. Abis gimana dong, saya sudah pesen 3 bungkus. Dan, terciptalah awkward moment antara kita. Wangi bumbu nasi goreng pesanan saya sesekali merusak obrolan kaku kita.

“Masih di kantor lama?” tanyamu. Pertanyaan pertama sejak mata kita saling pandang dan ekspresi aneh selama beberapa menit. “Sudah pindah.” Jawab saya. Tanpa memberi kamu informasi kemana saya pindah kerja. Saya takut kita kembali goyah dan kemudian saling mencari. Lagi. Dan sakit. Lagi. Saya dan keringat dingin saya pun mencoba mencari pertanyaan yang sangat sederhana. Yang sekiranya bisa mencairkan suasana tapi tidak terkesan kepo dan ingin mengulang masa lalu dan ingin tahu apa saja yang kamu kerjakan setelah kita berpisah dan pertanyaan yang menjadi indikator bahwa saya akan curhat colongan. Maaf, saya masih ribet seperti dulu. Dan akhirnya saya bertanya, “Beli berapa bungkus?”. Pertanyaan aman. Dan bodoh. Tapi, saya berterima kasih karena kamu tetap menjawabnya. “4 bungkus.” katamu. Sudah. Gitu aja. Sepertinya kamu pun berusaha melakukan seperti apa yang saya lakukan. Mencoba saling membentengi diri untuk kebaikan masing – masing.

Dan “Mbak, 36ribu.” dari Istri sang penjual menjadi penentu waktu kita berpisah. Membiarkan rindu yang masih menggantung seperti kerupuk udang favoritmu di warung itu. Saya bergegas membayar dengan uang pas karena dalam pecahan dua ribuan hasil dari nyongkel celengan lalu berpamitan seadanya banget ke kamu. “Duluan” kata saya sambil mengangguk macho. Sangat tidak anggun. Untuk pamitan dari  pertemuan yang singkat inipun tetap masih terasa sakit. Sakit seperti pamitan terakhir kali di ujung gang rumah saya. Semua alasan perpisahan masih sama. Masih ada. Dan akan selalu ada. Terakhir kali, saya lihat ke arah leher kamu. Kalung salibmu masih menggantung kokoh di sana.

Selamat tahun baru, kisah lama. Jangan lupa bahwa “Tuhan memang satu, kita yang tak sama”.

1 komentar: