Hai, Sayang.
Duh, maaf. Masih
kebiasaan. Maksud saya, Hai, Jo.
Jo. Surat ini
untuk kamu. Pertemuan kita yang direncakan semesta beberapa hari lalu terlalu
singkat untuk membiarkan rindu saling terlepas dari dada masing – masing. Ah,
saya masih selalu suka menggunakan kata “kita” untuk pengganti “saya dan kamu”.
Seperti biasa jika itu tentang kamu, saya menjadi sangat mudah bahagia. Saya
tulis surat untuk kamu karena saya rasa itu perlu. Meskipun tidak kamu baca,
paling tidak saya sudah menulisnya. Maaf, maksudnya gimana? Tolong jelaskan.
Oke, lupakan.
Jo, waktu itu
gerobak nasi goreng jadi saksi bisu (dan buta dan berminyak dan keling dan
catnya sudah pudar dan lain - lain) pertemuan kita setelah sekian lama. Entahlah,
dari sekian banyak gerobak nasi goreng kenapa kita harus bertemu di depan
gerobak nasi goreng itu. Sangat tidak romantis. Dan sangat tidak classy seperti kata temen saya yang suka
bahasa inggris but just setengah – setengah. The last time kita ketemu is in
front of gang rumah saya kan? Kamu masih ingat? Saya yang memakai piyama kucel,
jilbab ala ibu – ibu serta sandal jepit yang kiri dan kanan warnanya gak sama,
sedang jelek – jeleknya menangisi hubungan kita yang harus berakhir bahkan
tanpa persetujuan dari kita berdua. Tangis saya menggema di ujung gang. Untung
kang ojek uda pada setoran ke istri jadi tidak akan ada tatapan aneh ataupun
kepo dari orang sekitar. Maklum, ujung gang saya sepi. Meskipun beberapa kali
teriakan kang sate keliling memecahkan konsentrasi dan alunan ritme tangis
saya, namun semuanya tetap sama. Saya tetap sakit. Sakit sekali. Huft.
Di samping
gerobak nasi goreng yang diterangi lampu strongkeng itu, kita berdiri. Kamu
menyilangkan tangan depan dada dan saya memasukkan tangan dalam kantong jaket
berwarna hot pink keabu-abuan karena pengaruh ekstrak debu jalanan kota. Masih
dengan jilbab ala ibu – ibu saya, saya mencoba bertahan di samping gerobak itu
meskipun kaki saya sebenernya sudah ingin berlari menjauh dari kamu. Abis
gimana dong, saya sudah pesen 3 bungkus. Dan, terciptalah awkward moment antara kita. Wangi bumbu nasi goreng pesanan saya
sesekali merusak obrolan kaku kita.
“Masih di kantor
lama?” tanyamu. Pertanyaan pertama sejak mata kita saling pandang dan ekspresi
aneh selama beberapa menit. “Sudah pindah.” Jawab saya. Tanpa memberi kamu
informasi kemana saya pindah kerja. Saya takut kita kembali goyah dan kemudian
saling mencari. Lagi. Dan sakit. Lagi. Saya dan keringat dingin saya pun
mencoba mencari pertanyaan yang sangat sederhana. Yang sekiranya bisa mencairkan
suasana tapi tidak terkesan kepo dan ingin mengulang masa lalu dan ingin tahu
apa saja yang kamu kerjakan setelah kita berpisah dan pertanyaan yang menjadi
indikator bahwa saya akan curhat colongan. Maaf, saya masih ribet seperti dulu.
Dan akhirnya saya bertanya, “Beli berapa bungkus?”. Pertanyaan aman. Dan bodoh.
Tapi, saya berterima kasih karena kamu tetap menjawabnya. “4 bungkus.” katamu.
Sudah. Gitu aja. Sepertinya kamu pun berusaha melakukan seperti apa yang saya
lakukan. Mencoba saling membentengi diri untuk kebaikan masing – masing.
Dan “Mbak,
36ribu.” dari Istri sang penjual menjadi penentu waktu kita berpisah.
Membiarkan rindu yang masih menggantung seperti kerupuk udang favoritmu di
warung itu. Saya bergegas membayar dengan uang pas karena dalam pecahan dua
ribuan hasil dari nyongkel celengan lalu berpamitan seadanya banget ke kamu.
“Duluan” kata saya sambil mengangguk macho. Sangat tidak anggun. Untuk pamitan
dari pertemuan yang singkat inipun tetap
masih terasa sakit. Sakit seperti pamitan terakhir kali di ujung gang rumah
saya. Semua alasan perpisahan masih sama. Masih ada. Dan akan selalu ada.
Terakhir kali, saya lihat ke arah leher kamu. Kalung salibmu masih menggantung
kokoh di sana.
Selamat tahun
baru, kisah lama. Jangan lupa bahwa “Tuhan memang satu, kita yang tak sama”.
Jarang-jarang nemu surat puitis gini, hebat kak :)
BalasHapus