Kamis, 26 Februari 2015

Teruntuk Peminjam Kata



Barangkali keberadaan surat ini jadi pikiran di benakmu yang penuh dengan keindahan kata. Namun entah bagaimana, rasanya senang membayangkannya. Sebelum mencapai paragraf dua, kukenalkan seorang wanita yang mendadak jadi penikmat rangkaian kata yang kau unggah di sosial media. Icha. Kita bisa memulainya dengan nama, untuk kelanjutan cerita, mari menunggu takdir Tuhan sebagai penentunya.

Mengagumi menjadi salah satu kebiasaanku, Tuan. Tidak apa – apa jika kupanggil Tuan? Secara resmi memang kita belum berkenalan. Aku yang menyapa dan menyebutkan nama duluan. Dari sekian panggilan sopan, kurasa “Tuan” adalah yang paling berkesan. Mungkin alasannya sederhana, biar lebih kepepuisian. Haha, untuk candaanku yang tidak lucu, maafkan.

Kuharap kekagumanku tidak menyusahkan. Jika ternyata mengungkapkannya membuat Tuan tidak nyaman, sekali lagi maaafkan. Entah sejak kapan kepalaku mulai kepikiran tentang surat – surat yang Tuan tuliskan. Tiba – tiba saja kutemukan diriku menjadi kecanduan. Setiap petang seusai adzan, aku akan memulai kebiasaan baruku membuka blog Tuan. Dengan sangat tekun, halaman  demi halaman kubaca pelan. Menyesapi setiap kata yang tertuang, setiap makna yang ingin Tuan sampaikan. Indah sekali, Tuan. Tentang pujian, ini masih kurang menggambarkan dari yang Tuan pantas dapatkan.

Jika tidak salah terka, Makassar adalah kota tempat sekarang Tuan berada. Kota tempatku lahir dan besar sampai remaja. Namun setelah Ayah merasa nafkah mulai susah dicari di sana, beliau memutuskan untuk pindah ke kota Samarinda. Mungkin untuk kali pertama, meskipun masih SD kelas lima aku sudah tahu arti berpisah. Hari itu aku menangisi tetangga, keluarga dan teman sekolah yang tak bisa kuajak ikut pindah. Makassar, kota besar dengan segala hingar bingar, tentang preman yang tersebar. Orang – orang yang kurang berbekal rasa sabar. Aku tidak asal cecar, namun begitulah keadaan penduduk sekitar. Meskipun begitu, aku mencintai kota Makassar. Budaya sopannya mengakar, menandakan mereka juga terpelajar. Sepertinya batas curhat sudah kulanggar. Maafkan aku untuk curhat yang tidak kelar – kelar.

Tuan, surat ini bukan apa – apa jika dibandingkan dengan keahlianmu merangkai kata. Melalui kata yang Tuan sandingkan bersama, bisa tercipta bahagia. Tidak jarang luka. Boleh aku bertanya? Sihir apa yang Tuan pakai di pena sampai bisa membuat dunia maya lebih kucari dari nyata? Beberapa saat setelah #30HariMenulisSuratCinta, fokusku jadi tertuju linimasa @zulkipeputra. Beberapa kali pernah kubaca bahwa rasa sakitlah yang bisa membuat karya melegenda. Ah, aku mengucap seribu doa. Semoga untuk karyamu bukan sakit dalangnya.

Iri sudah pasti pernah. Melihatmu, memahat kata sepertinya mudah. Sementara aku harus menguras otak dan tenaga untuk bisa menghasilkan sebuah karya. Itupun seadanya. Lain dengan milikmu yang nyaris sempurna. Tetapi aku tidak akan menyerah untuk menciptakan karya. Kan yang menjadi tujuan utama adalah menumpahkan segala rasa. Menuangkan cerita – cerita yang kadang kala tidak bisa tercipta di lidah. Indah atau tidak, bukan masalah.

Tuan, betulkah kata yang kau tabur hanya pinjaman? Jika begitu, kapan akan tuan kembalikan? Apa jaminan untuk meminjam kata yang sebegitu indah bukan kepalang? Tolong jangan bilang jika harga yang harus dibayar untuk meminjam adalah kenangan. Kalau memang iya, pasti perihnya tak tertahan.

Tuan, suratku sampai pada paragraf akhir. Jangan cari ide cerita yang terlahir. Sungguh di dalam surat ini hanya tumpahan rasa getir yang muncul karena keahlian mutakhir. Bila nanti aku ada di kota kita, bisakah rasa kagumku dipertemukan dengan pemiliknya? Pinggir pantai losari bisa jadi tempatnya. Tuan juga bisa cerita (atau mengenalkannya padaku) tentang wanita bernama Maneka yang kuyakin cantik parasnya. Doaku mengudara, semoga kalian selalu bahagia. Bersama.

Dariku,
orang perumnas sudiang yang biasa ji kodong tapi mau jadi teman ta’.

Sabtu, 21 Februari 2015

Dua Puluh Tiga Untuk Muhibatul Jannah



Semesta, tahun dua ribu lima belas bulan dua tanggal dua puluh dua.
Untuk yang kami cinta, Muhibatul Jannah.

“Selamat mengulang tahun, Muhibatul Jannah.Kami aamiinkan segala semoga, Kami semogakan semua harap. Kami harap semua diaamiinkan.”

Selamatduapuluhtigatahun, Sayang.

Hari ini doa terbaik untukmu sedang dikumandangkan satu – satu dari seluruh penjuru. Mulai dari Ibu, keluarga, sahabat, teman, sampai handai taulan nun jauh. Tidak satupun yang luput, semoga kau bahagia selalu, rejeki yang terus bertambah, kesehatan yang baik – baik saja serta jodoh yang dipersatukan segera. Nikmatilah, Sayang. Pertambahan usia menandakan semakin banyak yang telah kau lalui, namun semua harus bisa kau atasi. Jika hari kemarin kau pernah berbuat salah ya tidak apa – apa. Kau masih punya kesempatan untuk memperbaikinya.
Selamat dua puluh tiga tahun, Sayang.

Mengikhlaskan memang selalu lebih berat daripada memperjuangkan. Alasan itulah yang menjadi patokan kenapa beberapa orang lebih suka berlama – lama dengan rasa sakit. Tapi ingat, jika mengikhlaskan memang sebegitu berat bukankah hasilnya jauh lebih hebat? Tidakkah kau pikir begitu? Ah, mungkin aku saja yang sok tau. Seperti katamu, aku wanita yang pandai berbicara namun tak bisa merealisasikannya. Tunggu, kenapa ini tentangaku? Ini kan harimu. Maaf.

Selamat dua puluh tiga tahun, Sayang.

Aku sebagai teman yang datang dari enam tahun silam selalu merasa diberkahi dengan kehadiranmu di sisi. Tentu teman yang lain juga merasakan hal yang sama. Kehadiranmu di setiap cerita memberi arti yang berbeda. Semangatmu untuk menjadi penyemangat kami selalu tidak pernah salah dalam setiap langkah. Meskipun kebiasaan selfiemu terkadang membuat kami pusing, tapi tidak mengurangi rasa kasih kami terhadapmu. Tahun ini mungkin tidak ada kejutan, hanya sekotak kado yang datang dari hati paling dalam. Tentu saja doa dan harapan mengalir deras sejak semalam. Semoga yang terbaik dikabulkan Tuhan ya, Sayang.

Selamat dua puluh tiga tahun, Sayang.

Bahagialah dengan caramu sendiri. Bahagialah dengan apa yang kau miliki dan apa yang ingin kau capai. Bahagialah sampai akhir umurmu nanti. Sambut dua puluh empat mu dengan suka cita. InsyaAllah, tahun ini nikah. Haha.
 
Dari Kami-Mu.

Tamu Tak Diundang



Apa kabar Kak Rahne? Semoga kakak dan keluarga selalu baik – baik saja. Maafkan saya ya kak yang gak bisa bikin surat – surat puitis seperti pengagummu yang lain. Hehe. Kakak pasti sudah biasa menerima surat cinta. Saya adalah pengagum kesekian yang menulis surat untuk kakak. Meskipun begitu, saya harap kakak sempat untuk membacanya. Kenalkan, saya Icha. Salah satu pengagum dari tweet, blog, soundcloud dan buku kakak. Untuk pujian, saya rasa kakak sudah sering mendengar ataupun membacanya. Tapi beneran deh saya selalu karya yang kakak hasilin. Nilai seninya (yang dinilai dari orang awam seperti saya) sangat tinggi sekali. Saya selalu menemukan hal berbeda dari apa yang kakak hasilkan dan yang orang lain hasilkan (bolehkan karya disebut sebagai “hasil”?). Dari pemilihan kata, sudut pandang dan juga pemikiran. Duh, maafkan saya jika sok tau ya, Kak. Kekaguman saya bertambah ketika bertemu langsung dan mengetahui bahwa kakak ternyata pribadi yang hangat. Nah, pertemuan ini yang saya ingin jelaskan.

Kak, sebenernya saya di sini mau minta maaf dan melakukan pengakuan dosa yang saya sudah lakuin ke keluarga kakak baru – baru ini. Maafkan saya yang baru sempat meminta maaf sekarang. Tenang kak, ini tidak termasuk dalam level kejahatan yang tinggi sih cuma tetap saja saya merasa sangat gelisah jika belum meminta maaf. Jadi gini, beberapa waktu lalu ketika pernikahan Kak Kharis dan Kak Irma sedang berlangsung kakak pasti ingat bahwa ada dua orang wanita yang menghampiri kakak dan tiba – tiba mengajak kenalan. Dan minta tanda tangan. Dan Foto bareng. Dan ngajak ngobrol. Itu saya dan teman saya. Kedatangan kami ke sana sebenarnya sebagai tamu yang tak diundang. K Yak, tidak ada undangan resmi yang datang pada saya ataupun teman saya untuk menghadiri pernikahan Kak Kharis dan Kak Irma pada hari itu. Semua berasal dari keisengan saya main – main hape temen saya dan tidak sengaja melihat display picture kontak bbm temannya teman saya yang berupa undagan pernikahan Kak Kharis dan Kak Irma. Duh, ini sedikit ribet ya, Kak. Sebelumnya, temennya temen saya yang kebetulan adallah teman SMP Kak Irma sudah konfirmasi ke Kak Irma kalau kami mau datang. Dan Kak Irma berbaik hati sekali memperbolehkan kami datang. Tapi tetap saja saya rasa pada hari itu kami datang sebagai tamu tak diundang. Atau mungkin lebih tepatnya tamu yang maksa ingin diundang. Tapi kami gak makan kok kak. Kami cuma sempat ngambil souvenir. Dua buah. *digeplak* Dan, saya juga mau minta maaf sama Kak Kharis juga Kak Irma karena acaranya didatangi oleh tamu tak diundang :( Dan kesalahan terbesar saya, saya bahkan tidak menyempatkan bersalaman dengan mereka dipelaminan karena terlalu sibuk dan  heboh nyariin kakak di antara undangan yang hadir. Namun doa yang baik - baik saya panjatkan tulus untuk kebahagian mereka berdua. Aamiin.

Sebelumnya saya juga sudah menimbang baik buruknya serta adat istiadat yang akan saya langgar jika saya datang sebagai tamu tak diundang, namun saya bisa apa jika orang yang saya kagumi sedang berada di satu kota dengan saya? Saya benar – benar dibutakan oleh rasa kekaguman, Kak. *Halah* Jangan anggap saya semacam “fans yang mengerikan” yah, Kak. Saya follow kakak dari 2011. Dan semenjak itu saya juga menyadari bahwa sebenernya saya suka menulis. Suka kak, bukan berarti bisa. Hehe. Sejak itu juga saya rutin sekali update isi tumblr kakak. Dan mencoba belajar menulis. Dari menulis saya sadar bahwa ada hal – hal yang gak bisa diomongkan dengan kata ternyata jauh lebih baik jika ditumpahkan dengan tinta. Oke, saya mulai sok tau lagi. Hehe.

Sekian dulu ya, Kak. Saya harap saya dimaafkan. Nanti, kalau ke Samarinda lagi saya janji ajak jalan – jalan. Ngg, kalau kakak mau. Hehe.

Salam hormat saya,
Icha.

Jumat, 20 Februari 2015

Surat dari Sahabat Ibumu


Teruntuk Dzakir  Hafid atau Fitri Rafifah,

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Nak, kau pasti sudah bisa membaca. Entah bagaimana surat ini akan sampai padamu, tapi yang pasti bukan karena ibumu yang memberitahu. Aku paham betul watak perempuan pelupa satu itu. Namun Nak, untukku ibumu adalah salah satu anugrah terbaik. Ibumu datang sebagai sahabat. Surat ini kutulis ketika Ibumu sedang mengandung lima bulan. Beberapa hari lalu Ibumu menelponku. Ah, dari nada suaranya bahagia sekali jadi dia. Mencintaimu dengan sangat adalah apa yang dapat kusimpulkan dari perbincangan kami yang sesaat. Entah berapa usiamu setelah kau bisa membaca surat ini. Jika tidak salah duga, kau akan membaca saat usia lima. Ibu dan Ayahmu adalah pengajar yang handal, Sayang. Dan aku juga yakin kau adalah anak yang cerdas.

Aku menulis surat ini sebelum kau terlahir ke dunia. Pun belum punya nama. Kemarin Ibumu berbasa – basi padaku kalau minta dicarikan nama yang tepat untuk anak pertamanya. Padahal aku tahu kalau sebenarnya dia sudah punya nama untukmu kelak. Tapi Nak, sebagai sahabat yang (berusaha) baik, maka kusiapkan nama dengan pilihan doa terbaik. Dipakai Alhamdulillah, tidakpun juga tidak apa – apa.

Jika lelaki, kau kuberi nama Dzakir Hafid. Dua kata. Seperti nama kedua orang tuamu. Nur Hidayah dan Agna Fadli. Dzakir Hafid mempunyai arti “Penghapal Al-Qur’an yang punya daya ingat kuat”. Tentu kaupun paham kan, Nak? Harapanku juga kedua orang tuamu kau bisa menjadi penghapal Al –Qur’an. Untuk penuntun hidup, Nak. Aku tidak tahu bagaimana kelak duniamu namun untuk kami, dunia sudah terlalu tua. Sudah banyak kejahatan di mana – mana. Kami harap sebagai penghapal Al – Qur’an kelak kau akan menjadi penunjuk jalan yang benar. Yang di ridhoi oleh Allah. Nak, hidup di dunia tidaklah mudah namun jangan khawatir. Banyak orang terkasih yang akan bersamamu. Aku sudah pernah bertemu dengan mereka semua. Jangan takut sendri. Selain ibu dan ayahmu, kau akan punya Tante dan Om yang baik – baik. Serta kakek nenek yang akan senantiasa menyayangimu. Juga jangan lupa sepupu – sepupu yang kelak akan kau panggil “Kakak”.

Jika wanita, kau kuberi nama Fitri Rafifah. Sederhana tapi sarat makna. Afif bisa jadi nama panggilanmu, Nak. Namamu punya arti “Yang suci dan akhlaknya baik”. Nama ini sudah mewakili doa yang menyayangimu kurasa. Dengan paras yang diwariskan ibumu, kau sudah tentu cantik. Nak, kelak jika memilih sahabat carilah yang seperti ibumu. Ibumu adalah icon sahabat paling hebat. Tidak cuma pendengar sejati, dia juga pencari solusi. Dia paham betul kapan harus mendekap supaya kita merasa dimiliki dan kapan harus dihujat agar kita bisa memperbaiki diri. Aku tidak terlalu akrab dengan ayahmu, namun sebatas yang ku tahu dia salah satu lelaki paling tangguh. Memperjuangkan ibumu adalah satu alasan kekagumanku padanya.

Nak, jika suatu saat kalian butuh sahabat maka akan kulahirkan anak lain dari rahimku yang dikenal sebagai wanita yang hatinya kuat :”)


Dari Sahabat Ibumu yang tidak ingin dipanggil “Tante”.

Kamis, 19 Februari 2015

Surat Dari Samarinda

Samarinda, 19 Februari 2015.

...Untuk para perangkai kata yang akan berbahagia di sana...

Saat seperti ini aku benar - benar berharap bahwa "pintu kemana saja"nya Doraemon nyata. Apa yang lebih membahagiakan selain berada di tempat yang sama dengan semua pecinta kata? Kalau saja jarak dapat kulipat, dan waktu tak bersekat akan sangat mudah bertukar peluk erat.

Tidak berlebihan rasanya kalau aku bilang rindu. Meski tatap belum pernah bertemu namun kata kita sudah saling taut jadi satu. Sebagai sesama penulis surat, aku rasa kita sudah sama - sama terpikat. Ini kali pertama aku mengikuti #30HariMenulisSuratCinta tapi semua sudah seperti keluarga.

Bandung memang salah satu destinasi impian. Mungkin Tuhan belum mengijinkan kakiku berpijak di kota kembang. Ingin sekali rasanya jatuh cinta di sana. Dengan pengetahuan seadanya, lelaki sana tampan - tampan parasnya. Benarkah?

Untuk para penulis surat, kang pos dan bosse, selamat bersenang - senang yah kalian. Aku di Samarinda suatu saat akan datang sambil membawa beberapa bungkus amplang. Untuk Mas Dimas, boleh aku minta jemput? Rumahku depan Pasar Dayak.

Dari Icha,

Penulis surat yang sering curhat.

Rabu, 18 Februari 2015

Lima Puluh Menit Terakhir (2)

“Ok. Tunggu di sana ya, Lis.”

Rian menginjak pedal gas mobilnya. Melaju kencang menuju rumah Lisa. Dalam perjalanan, banyak sekali yang Rian pikirkan. Rian kembali mengingat pertemuan pertamanya dengan Lisa. Di kantin kantor mereka. Rian memegang lengan kirinya sambil tersenyum tipis. Ia bahkan masih bisa mengingat panas kuah soto yang tidak sengaja ditumpahkan Lisa beberapa bulan lalu. Hari ini Rian benar – benar mengucap syukur paling tulus, akhirnya dia bisa bersama Lisa selama apapun yang dia bisa. Tidak seperti kemarin – kemarin, mau makan siang saja harus sembunyi – sembunyi. Namanya juga jadi selingkuhan.

***

PRAAAANGGG!

“RUDI! JANGAN! RIAN BISA MATI RUD!”

“BIARIN! EMANG ITU YANG AKU MAU, LIS! KALIAN TIDAK AKAN BISA BERSAMA! SELAMANYA!”

Sementara itu, Rian bersimbah darah. Entah kerasukan setan mana, Lisa mengambil serpihan kaca dan menusuk punggung Rudi yang membuatnya terhuyung. Darahnya kini bercampur dengan darah Rian. Sementara keadaan di luar kamar kacau setelah mendengar pecahan kaca dari dalam kamar Lisa. Tetiba semuanya menjadi lebih kacau.

***

Rian membuka matanya perlahan. Mencoba mengumpulkan ingatan terakhir. Yang bisa diingat hanya Lisa bersimpuh di depannya. Menangis sejadi – jadinya. Rian membalikan tubuhnya, dilihatnya Rudi di tempat tidur sebelahnya dalam keadaan tidak sadarkan diri.

Rian menimbang apa yang akan dilakukannya kemudian. Dia menatap Rudi lama sekali.

“Rud, Maafin aku. Lisa memang milikmu. Aku khilaf. Aku bukan tidak sayang dengannya, namun ada kewajiban yang harus aku dahulukan. Jika memang harus menunggu 1000 tahun, atau bahkan di kehidupan kedua aku sanggup. Mungkin memang tidak sekarang. Selamat ya.”

Rian bangkit dan melangkah keluar. Dia harus memikirkan alasan untuk di rumah nanti. Apa yang dia harus katakan kepada istrinya tentang semua ini?

Flash Fiction ini ditulis untuk mengikuti program #FF2in1 dari Tiket.com dan nulisbuku.com #TiketBaliGratis