Minggu, 23 Februari 2014

Untukmu, Cinta


Aku jatuh, Cinta.
Pada bening mata yang mirip jendela. Memperlihatkanku dunia yang berbeda.
Aku jatuh, Cinta.
Pada bibir tipis yang suka tersenyum sinis. Ah, tapi manis.
Aku jatuh, Cinta.
Pada suara yang penuh wibawa. Dan menjadikan telingaku diperintah tanpa bisa membantah.
Bahwa,
Aku jatuh, Cinta.

Tapi,

Aku mohon, Cinta.
Datanglah lain kali, terakhir kuingat aku pernah patah hati. Dan aku tidak ingin merasakannya lagi.
Aku sakit, Cinta.
Kuharap akan berbeda. Tapi tetap saja aku belum bisa yakin, kali ini kau tidak akan sama seperti sebelumnya.
Aku janji, Cinta.
Jika “kelak” memang pantas ditunggu, maka aku akan memelukmu sambil mengalah telak.

Tuan


Selayang pandangku, Tuan.
Hanya ragu yang terhamparkan.

Sepanjang nafasku, Tuan.
Harap jadi acuan bertahan.

Seiring kataku, Tuan.
Himpitan doa minta dikabulkan.

Aku pecinta, Tuan.

Yang ingin bahagia dari kepala sampai kaki.
Yang ingin bercinta dan enggan untuk berhenti.
Yang ingin hidup jadi lupa untuk mati.

 Kemudian.

Tuan,
Pernah aku ingat bahwa aku mendambamu dengan terlalu. Kupinta kau dalam setiap doaku. Kusebut kau dalam semua harap di tiap hari jadiku.
Tuan,
Pernah aku menangis tanpa henti. Mataku sampai bengkak jadi pipi. Ah, hidungku juga memerah mirip babi. Aku merindumu dalam hati.
Tuan,
Sekarang aku di sini. Menunggu waktu mengantarkanmu padaku. Setelah berhias diri, aku mempersiapkan makan malam di atas meja jati.
Tuan,
Sekarang aku di sini. Aku tahu, tidak lama lagi kau akan mengetuk pintu rumah, memintaku pada Ayah, menjabat tangannya selagi bersumpah, lalu kita menandatangani buku nikah.

Maka Tuan,
Mari hidup bahagia!

Rima


Tidak seperti puisi yang berirama,
Kita serasi yang tidak ada.

Aku suka puisi, padanya aku bebas berekpresi.
Mengutukmu lalu mencinta kembali tanpa merasa risih.

Seperti buku yang lama tidak terbaca, hati kita adaalah lembaran – lembaran kering penuh makna. Dan pikiran yang terlalu lambat menua.

Kita pernah sangat merindu, lalu memakai sepatu buru – buru dan ingin saling bertemu. Ah ya, di bawah lampu meja lantai satu, kau pertama kali mengecupku. Malu – malu.

Sekarang, kita tidak lagi kita. Kita tidak lagi satu kata. Kita tidak lagi sama pinta.