Rabu, 21 Mei 2014

Syair Sang Pecinta

Syair yang buru – buru dibuat oleh pecinta.
Meninggalkan rima dalam paragraf pertama.
Dengan sepatu makna, dia tetap menghentak di setiap dada.
Tidak ada yang lupa, ketika tada baca jadi pengatur masa.
Sang titik mencoba menunda, namun cerita sudah menjelma dalam bahasa.

Syair yang lari – lari dipikiran pecinta.
Huruf yang dipuja perindu menjelma jadi dupa.
Wanginya sampai goyahkan rasa.
Menurutnya, selera beda – beda. Yang diharapkan sama hanya rasa antara dirimu dan dirinya.
Boleh saja tidak bahagia di akhir cerita, asal tanda baca yang ada di sana adalah koma.

Syair yang diam – diam tidak digubah pecinta.
Sampai ini dibaca, akhir cerita tiada yang sangka.
Bisa saja bahagia,
Bisa saja tetap terluka.

Tapi yang pasti, syair yang dibikin pecinta adalah bukti nyata Tuhan pemberi segala.

Jumat, 09 Mei 2014

Lagu Malam

Sudah kutulis semua. Segala bentuk dan macam waktu. Dari lalu, kini dan nanti. Sudah kubilang semua. Segala bentuk sakit. Entah harapan, kecewa, dan penantian. Aku pencerita yang mulai mengantuk. Mencoba mengingat lamat – lamat tentang apa dan siapa. Kubaca lagi ceritaku, tebak – tebak siapa dan kenapa. Setiap kata yang dikandung melahirkan banyak anak – anak sangsi. Aku ingat bahwa ini untukmu, namun tenunan huruf ada namanya. Aku ingat ini sakitku, tetapi resep tercatat untuknya.

Sakit apa yang tidak punya obat? Setiap luka punya penyebabnya sendiri. Dari duri sampai diri. Malam tercekik oleh tali – tali simpul kata indah buatan penyair. Dalam cerita bahkan ada ratu yang harus turun tahta untuk menjumpai pangeran di kelas bawah. Ada polisi yang melanggar aturan supaya dipenjara kebahagiaan. Ada dokter yang ingin sakit untuk tahu bagaimana reaksi obat. Ada pengusaha gulung tikar, untuk pindah pada kejayaan kekar.

Bantal – bantal penyandang bahu berat berbeban rasa sungkan. Bunyi – bunyi perut yang terlalu bising meneriakkan gengsi. Serta mata yang menjatuhkan derita bersama dengan hilangnya bicara.
Sebelum tertulis, lembar putih kertas elektrik ini tampaknya sudah menyimpan beberapa rentetan kata yang tidak akan pernah sampai padamu, atau mungkin saja terlambat. Ada makian, sebagian pujian. Ada harapan, tapi yang menyakitkan mungkin kekecewaan.

Di surat yang tidak akan ku kirim ini, akan ku tuangkan segala bentuk rasa selagi aku masih bisa. Biarlah kenangan mengantarkanku kembali dalam kolom ingatan lampau, membopong badan yang sedang dalam perawatan sakit hati.

Kutulis beberapa hal tentangmu, tentang turunan Adam yang menciptakan luka tanpa rasa malu. Kau hari itu menangis. Katamu, hati bukan sesuatu yang bisa dipaksakan. Cerita kedepan, bukan sesuatu yang kita bisa rahasiakan. Entah, aku yang terlalu ber-IQ rendah atau memang kau kurang paham dengan terjemah bahasa. Kudorong ego sampai ujung jurang paling dalam, untuk menyelamatkan rasa yang sebenernya sudah hilang. Aku berdiri, kemudian bersujud memohon di hadapan mata buta yang tidak tahu peka. Kusodorkan semua cinta dalam baki dan tak bersisa.

Di labirin jauh sebelum persimpangan waktu pertemuanku denganmu, aku juga pernah pilu. Tidak kuingat tentang apa, namun luka masih berbekas. Kurasa, belajar mengendarai sepeda adalah salah. Selanjutnya, aku jadi ketagihan tantangan. Persetan dengan semua manusia yang suka bertualang. Di belakang tubuh yang lantang, mereka hanya bongkahan ketakutan yang sudah hilang akal.

Nanti, di pusara umur, entah milikku atau milikmu. Kita akan mematung dalam bisu. Membiarkan semua sel otak bekerja keras, atau jika itu kamu. Dengan kemeja hitam dan benang kelam, kau akan membunuh setiap ragu yang berlari satu – satu. Di depan, satria sesal berpedang paling tajam, berbentuk makian akan dicambukkan pelan – pelan sampai akhir zaman.

Selamat tinggal dan jaga diri, Diri.

Selamat malam, Puisi. Selamat hidup dan jangan lupa mati.