Sabtu, 31 Januari 2015

Untuk Wanita - Wanitaku


Untuk wanita – wanitaku,

Saya tahu kalian akan bereaksi sungguh sangat amat dramatis ketika menerima link surat yang saya kirim ini. Bacalah. Jangan sok sibuk.

Untuk Pecinta surga, MJ.
Kamu gimana? Masih dilemanya? Sayang, hidup itu tentang memilih. Dan dalam pilihan, tidak ada yang benar ataupun salah. Setelah memilih, tahapan selanjutnya adalah menjalani. Meskipun dalam proses perjalanan kamu merasa pilihan kamu sebelumnya ternyata bukan pilihan yang tepat, jangan takut. Bisa diperbaiki. Membuat kesalahan itu manusiawi sekali. Jangan takut membuat kesalahan. Jangan takut menjadi ”manusia”. Tentu, seorang perfeksionis seperti kamu akan sulit sekali menerima tanggapan saya, tidak apa – apa. Debat yang membuat kita bisa bersahabat. Sayang, apapun yang kamu pilih nantinya, entah itu berjalan baik atau mungkin tidak (saya tahu kamu akan ketok – ketok meja abis ini) saya hanya ingin kamu tahu. Kamu adalah salah satu perempuan hebat. Sayang, kamu hanya cukup memilih, sisanya biar Tuhan yang mengatasi. Sayang, kamu hanya cukup sedikit berani, sisanya bisa kita cari jalan keluarnya lagi. Sayang, kamu hanya cukup senyum tiga jari, jika memang ada mas – mas yang akhirnya tidak kamu nikahi, disyukuri dan cepatlah cari calon baru lagi. Sayang, pilih dan jalani. Memang, mungkin di masa depan nanti ada beberapa kesalahan yang minta diperbaiki, dan mungkin juga di masa depan ada hal yang akan kamu syukuri sekali. :)  Yang terakhir. Sayang, kurang – kurangilah selfie.

Untuk Ibu dari Alvaro, MS.
Kamu gimana? Masih gorjesnya? Beb, kita selalu setuju bahwa untuk bersama tidak hanya butuh cinta. Di umur lebih dari dua lima yang menjadi alasan menikah bukan cuma tentang saling cinta. Ada kulkas yang harus diisi, ada popok yang harus dibeli, ada banyak baju yang harus jadi koleksi, ada banyak sepatu yang harus ditaruh di lemari, ada banyak tempat yang harus dikunjungi. Saya tahu kamu perempuan kuat, meskipun kamu tidak bisa narik mobil pake gigi namun saya tahu kamu wanita tangguh. Kamu tahu apa masalahmu? Tidak pernah mengeluh. Mengeluh itu manusiawi. Jangan takut menjadi “manusia”. Beb, sesekali menangislah di depanku. Mengeluhlah di telingaku. Agar aku tahu, apa yang bisa aku bantu. Ah, tapi mungkin untuk beberapa waktu ini tidak perlu. Kamu terlihat sedang bahagia – bahagianya. Saya turut ayah ke kota mengendarai kuda supaya baik jalannya berbahagia. Dengan kamu, saya belajar menjadi lebih pecun dewasa, bahwa sah adanya wanita harus punya “kelas”nya. Bahwa sah adanya wanita harus bisa mencintai dirinya. Terima kasih. Yang terakhir, kurang – kurangilah flirting.

Untuk Ibu dari Deeba, DA.
Kamu gimana? Masih bahagia kan? Dan harus. Hun, sudah lama sekali rasanya kita tidak bercerita tentang hidup masing – masing. Meskipun saya tahu, sekarang langit dunia kamu sedang terang – terangnya. Semenjak kelahiran malaikat cantik, Deeba (siapa gitu nama lengkapnya, maafkan onti Nak) hidup kamu dan suami jauh lebih bahagia. Dan makin jauh bikin lebih iri. Hun, sejak kamu dinikahi oleh pria bertanggung jawab nan sholeh nan perkasa nan setia itu saya menjadi merasa kehilangan. Biasanya, jika ada masalah saya akan mencari kamu untuk cerita. Namun sekarang, tampaknya “tempat sampah” saya diambil olehnya. Tidak, saya bukan tidak suka. Saya hanya…oke, iri. Hun, rajin – rajinlah ajak saya ngemol. Saya bisa kok gendong Deeba. Saya kangen dipilihin eyeliner yang bagus, kangen disaranin sepatu yang cocok sama warna kulit kaki saya, kangen makan bareng kaepsi, mekdi ataupun junk food lainnya. Setelah baca surat ini, bbm saya yah. Kita bisa gosipin MJ dan MS. *diketok*. Sayang, kamu selalu saja cantik meskipun dengan pipi yang tumpah tumpah ataupun lemak diperut yang melimpah ruah :”). Yang terakhir, kurang-kurangilah buka onlen syop……sendiri. Ajak saya juga. Tetep.

Untuk calon pengantin yang belum tau nanti nikah sama siapa, RAR.
Kamu gimana? Masih nunggu? Eh. Aduh. Sayang, menunggu memang membutuhkan waktu. Kamu mungkin orang yang paling sabar yang pernah saya kenal. Tidak banyak orang yang tahan untuk menunggu. Apalagi, dengan ketidakjelasan apa yang ditunggu akhirnya akan menjadi milik kita atau tidak. Aduh. Saya bukan mempengaruhi kamu, tapi…berpikirlah. Sudah yah, bahaya kalau saya terlalu banyak ngomong. Saya cuma mau bilang, belakangan ini kamu jadi lebih cantik. Pasti banyak yang naksir deh. Duh, ke arah sana lagi. Saya kangen kamu. Sayang, jangan takut meninggalkan. Saya pernah baca di mana gitu kalau “bahagia tidak hanya bisa didapatkan dengan bersama orang yang tepat namun bahagia juga bisa didapatkan dengan meninggalkan orang yang salah.” Duh kan. Sudah yah. Yang terakhir, kurang – kurangilah minum susu tobeli. Umur dua enam uda bukan masa pertumbuhan. *kemudian disantet*

Wanita – wanitaku, berbahagialah dengan cara masing – masing. Jangan lupa untuk tersenyum tiap hari, jangan lupa pula untuk menangis sesekali. Menangis tidak akan membuatmu rugi, anggap saja ada mata yang harus dicuci agar bisa dipakai untuk melihat lebih jelas lagi.

Wanita - wanitaku, mari bersatu membentuk barisan yang kukuh. Menjadi orang - orang yang bisa saling mengandalkan. Yang terakhir, saya butuh pacar. Carikan.

Selamat Tahun Baru Untuk Kisah Lama


Hai, Sayang.

Duh, maaf. Masih kebiasaan. Maksud saya, Hai, Jo.

Jo. Surat ini untuk kamu. Pertemuan kita yang direncakan semesta beberapa hari lalu terlalu singkat untuk membiarkan rindu saling terlepas dari dada masing – masing. Ah, saya masih selalu suka menggunakan kata “kita” untuk pengganti “saya dan kamu”. Seperti biasa jika itu tentang kamu, saya menjadi sangat mudah bahagia. Saya tulis surat untuk kamu karena saya rasa itu perlu. Meskipun tidak kamu baca, paling tidak saya sudah menulisnya. Maaf, maksudnya gimana? Tolong jelaskan. Oke, lupakan.

Jo, waktu itu gerobak nasi goreng jadi saksi bisu (dan buta dan berminyak dan keling dan catnya sudah pudar dan lain - lain) pertemuan kita setelah sekian lama. Entahlah, dari sekian banyak gerobak nasi goreng kenapa kita harus bertemu di depan gerobak nasi goreng itu. Sangat tidak romantis. Dan sangat tidak classy seperti kata temen saya yang suka bahasa inggris but just setengah – setengah. The last time kita ketemu is in front of gang rumah saya kan? Kamu masih ingat? Saya yang memakai piyama kucel, jilbab ala ibu – ibu serta sandal jepit yang kiri dan kanan warnanya gak sama, sedang jelek – jeleknya menangisi hubungan kita yang harus berakhir bahkan tanpa persetujuan dari kita berdua. Tangis saya menggema di ujung gang. Untung kang ojek uda pada setoran ke istri jadi tidak akan ada tatapan aneh ataupun kepo dari orang sekitar. Maklum, ujung gang saya sepi. Meskipun beberapa kali teriakan kang sate keliling memecahkan konsentrasi dan alunan ritme tangis saya, namun semuanya tetap sama. Saya tetap sakit. Sakit sekali. Huft.

Di samping gerobak nasi goreng yang diterangi lampu strongkeng itu, kita berdiri. Kamu menyilangkan tangan depan dada dan saya memasukkan tangan dalam kantong jaket berwarna hot pink keabu-abuan karena pengaruh ekstrak debu jalanan kota. Masih dengan jilbab ala ibu – ibu saya, saya mencoba bertahan di samping gerobak itu meskipun kaki saya sebenernya sudah ingin berlari menjauh dari kamu. Abis gimana dong, saya sudah pesen 3 bungkus. Dan, terciptalah awkward moment antara kita. Wangi bumbu nasi goreng pesanan saya sesekali merusak obrolan kaku kita.

“Masih di kantor lama?” tanyamu. Pertanyaan pertama sejak mata kita saling pandang dan ekspresi aneh selama beberapa menit. “Sudah pindah.” Jawab saya. Tanpa memberi kamu informasi kemana saya pindah kerja. Saya takut kita kembali goyah dan kemudian saling mencari. Lagi. Dan sakit. Lagi. Saya dan keringat dingin saya pun mencoba mencari pertanyaan yang sangat sederhana. Yang sekiranya bisa mencairkan suasana tapi tidak terkesan kepo dan ingin mengulang masa lalu dan ingin tahu apa saja yang kamu kerjakan setelah kita berpisah dan pertanyaan yang menjadi indikator bahwa saya akan curhat colongan. Maaf, saya masih ribet seperti dulu. Dan akhirnya saya bertanya, “Beli berapa bungkus?”. Pertanyaan aman. Dan bodoh. Tapi, saya berterima kasih karena kamu tetap menjawabnya. “4 bungkus.” katamu. Sudah. Gitu aja. Sepertinya kamu pun berusaha melakukan seperti apa yang saya lakukan. Mencoba saling membentengi diri untuk kebaikan masing – masing.

Dan “Mbak, 36ribu.” dari Istri sang penjual menjadi penentu waktu kita berpisah. Membiarkan rindu yang masih menggantung seperti kerupuk udang favoritmu di warung itu. Saya bergegas membayar dengan uang pas karena dalam pecahan dua ribuan hasil dari nyongkel celengan lalu berpamitan seadanya banget ke kamu. “Duluan” kata saya sambil mengangguk macho. Sangat tidak anggun. Untuk pamitan dari  pertemuan yang singkat inipun tetap masih terasa sakit. Sakit seperti pamitan terakhir kali di ujung gang rumah saya. Semua alasan perpisahan masih sama. Masih ada. Dan akan selalu ada. Terakhir kali, saya lihat ke arah leher kamu. Kalung salibmu masih menggantung kokoh di sana.

Selamat tahun baru, kisah lama. Jangan lupa bahwa “Tuhan memang satu, kita yang tak sama”.

Kamis, 29 Januari 2015

Hai, Ganteng! Apa Kabar?


Hai ganteng. Apa kabar?

Maafkan saya ya, uda beberapa bulan ini saya sengaja menjauh. Saya dan kamu merasakan kehilangan yang sama kok. Kamu harus percaya hal itu. Semenjak gak ada kamu, saya masih rajin make krim malem seperti yang kamu sering omelin ke saya dulu. Hehe. Dan kalau pagi – pagi saya juga masih rajin sit up beberapa set sebelum berangkat kerja, itu juga karena kamu bilang cewek cantik itu perutnya rata kan?

Perut saya yang gak rata – rata banget ini bukan jadi alesan saya malu sama kamu dan menjauh, saya emang cuma mikir mungkin ada baiknya saya menjauh dulu. Ini untuk kebaikan bersama. Saya uda maafin kamu. Beneran deh. Luka ketika ngeliat kamu tidur sama sahabat saya dalam satu selimut tanpa pake apa – apa uda bikin saya sadar, mungkin saya memang bukan orang tepat buat kamu. Meskipun kejadian itu terjadi tepat tiga bulan sebelum kita ngelangsungin pernikahan. Dan meskipun sahabat saya yang kepergok tidur bareng sama kamu adalah orang yang ngenalin kamu ke saya. Harusnya kalo memang kalian saling suka, gak perlu nyomblangin saya dan kamu. Tapi yasudahlah. Saya sudah maklum sekarang.

Saya runut lagi ke waktu lalu, kamu emang orang yang paling bisa mahamin saya luar dalem, bahkan dari beberapa orang yang pernah saya pacarin kamu satu – satunya cowok yang  paham banget kalo saya lagi menstruasi dan mood berantakan. Kamu pasti akan muncul di kantor saya sambil bawa es krim, coklat dan jajanan lainnya. Tanpa banyak omong, kamu akan naroh jajanan di meja kerja saya sambil nyium kening saya dan berlalu. Meskipun setelah menstruasi kamu malah nyuruh saya jauh lebih keras olahraganya. Kamu juga orang yang paling concern sama yang apa yang saya pake. Saya masih inget, kamu pernah ngambek sama saya karena saya pakek baju yang sama. Saya waktu itu ngelaknya dengan alasan, “Ya ampun, kan acaranya beda. Yang kemaren itu nikahan, yang ini ulang tahun, Beb.” Dan kamu jawab dengan nada yang keliatan banget jengkelnya “Tapi orang yang datang itu masih satu circle. Malu, Beb.” Hah. Jujur, waktu itu saya belum paham kesalahan saya. Lah wong, bajunya saya cuci. Trus kalo emang sama kenapa? Tapi sekarang saya paham, ada aturan yang gak tertulis yang bilang bahwa wanita gak boleh pake baju yang sama kalo lagi ketemu sama circle yang sama meskipun di acara yang berbeda. Maafin kenaifan saya waktu itu.

Pas saya lagi nulis surat ini, saya lagi di café tempat kita sering pacaran dulu. Saya baru pulang dari belanja. Sendiri. Tempat yang pernah kamu tinggalin selama 2 tahun dulu masih kosong sampai sekarang. Belum ada yang bisa ngisi. Hehe. Saya tadi beli lipstick yang kamu bilang cocok banget buat saya loh. Sebenernya punya saya masih ada sih, tapi mungkin saya sedang kangen kamu. :)

Uda ya, saya harus pulang. Jam 4 saya ada jadwal aerobic soalnya. Hehe. Kamu di sana yang baik yah. Kabar – kabarin saya kalo kamu sudah suka cewek. Titip salam sama sahabat saya, bilangin dia juga makin ganteng. Dadaaahhh.

Surat untuk Mas Didit


Untuk Mas Didit,

Selamat atas pernikahan kakaknya Mas ya, semoga mereka berdua langgeng sampai kakek nenek, sakinah mawaddah warohmah dan amanah. Aamiin.

Namanya juga hidup ya, Mas. Kadang di atas, kadang jadi wali nikah untuk kakak. Rasa haru gak bisa saya bendung ketika Mas jadi wali nikah untuk kakak wanita Mas satu – satunya. Saya paham, rasa kehilangan kedua orang tua pasti terasa banget saat itu untuk Mas dan saudara – saudara Mas tapi Mas pasti berusaha kuat untuk nahan air mata. Saya tahu, Mas lelaki yang kuat. 

Mas, saya sebenernya gak pernah denger langsung tentang apa yang Mas rasakan hari itu ataupun hari – hari lainnya. Saya maklum, kita tidak ada di state yang mengharuskan kita untuk saling bertukar cerita. Kita hanya rekan kerja yang saling menyapa pun jarang. Ya saya sih ngarepnya lebih. Hehe. Saya sering banget stalking media sosial milik Mas. Facebook, twitter, status bbm yang saya updatenya lewat handphone temen saya. Iya, saya tidak ada di list teman bbm Mas karena saya terlalu takut untuk nge – invite. Saya takut hubungan kita kedepannya akan canggung. Lagi pula siapa saya yang harus berteman bbm dengan Mas? Ngomong – ngomong, kemeja, celana dan sepatu yang Mas pakai hari itu bikin Mas jadi jauh lebih ganteng dari biasanya. Saya suka. Lagi – lagi saya cuma liat lewat status bbm Mas, di handphone temen saya.

Saya paham, apa yang Mas tulis di sosial media bisa saja beda 100% sama apa yang Mas rasakan sebenernya. Tapi saya lebih memilih mencari tahu tentang Mas di sosial media daripada benar – benar mendekati Mas karena saya gak punya keberanian sampai ke level itu. Maklum lah Mas, secret admirer. Hehe.

Mas, saya pengen banget diajak ngobrol sama Mas yang jarang banget ngobrol. Hasil dari stalking juga gak banyak karena Mas bukan social media addicted. Selama ini, obrolan basa basi pas kita lagi kerja yang saya jadikan patokan untuk ngambil kesimpulan sok tau. Maklumin juga, cewek emang gitu. Pas lagi jadi stalker insting cewek mendadak kuat banget dan gak jarang suka ngambil kesimpulan yang hanya mau dipercaya aja. Gak tau deh, ini sebenernya pujian atau hinaan.

Mas, di kantor saya gak manggil dengan title “Mas” kan? Karena kita seumuran. Dan nama Mas di kantor juga bukan “Didit” kan? Ini juga hasil dari stalking. Saya denger-denger Mas suka dipanggil “Mas” dan di rumah dipanggilnya “Mas Didit” hehe. Biar saya berasa lebih akrab sih.

Saya pengen denger Mas cerita sendiri. Apapun. Tentang rasa kehilangan kedua orang tua, tentang bagaimana rasanya harus menghidupi dua orang adik setelah sepeninggal mereka, tentang bagaimana rasanya tinggal di rumah nenek bukan rumah orang tua, bagaimana bahagianya ketika diangkat jadi karyawan permanent, bagaimana rasanya setelah melihat kakak menikah, bagaimana Mas bisa memutuskan untuk kuliah kembali setelah dua tahun vakum, apa rencana Mas setelah lulus kuliah nanti, atau hal kecil seperti gimana susahnya ngatur waktu kerja yang dibagi jadi dua shift, gimana rasa catering kantor yang menurut temen – temen gak enak itu, atau kemaren beli jaket kulit warna coklat itu di mana? Dipake sama Mas kok kayaknya bikin Mas tambah kece yah? Tentang apapun, Mas.

Saya pengen banget dengar Mas cerita tentang semua hal itu. Kadang, saya mikir mungkin karena ukuran bibir Mas yang kecil makanya jarang ngomong yak? Halah. Apa sih. Padahal menurut saya, suara Mas cukup merdu kok untuk ukuran cowok. Serak – serak mancing gimana gitu. Dan tahi lalat di bibir bagian atas Mas itu seksi. Hehe. Hehe. *Remas – remas ujung sarung*

Iya, saya kepo banget sama kehidupan pribadi Mas. Kita bisa tukeran cerita kok. Nanti saya kasih tau deh kapan saya mulai suka sama Mas. Atau saya kasih tau deh, apa yang bikin saya gak berani bilang kalau saya suka sama Mas.

Mas, kapan – kapan kita ngobrol ya. Entah saya masih kerja di kantor yang sama atau sudah pindah. Kata temen – temen, saya pendengar yang baik loh. Dan problem solver yang kece. Syaratnya, jangan bawa pacar Mas. Pacar yang udah 5 taun bareng sama Mas dan lagi Mas tabungin untuk biaya nikah dan biaya hidup Mas nanti sama dia. Oke?


#DalemHatiMenangis