Sudah kutulis semua. Segala
bentuk dan macam waktu. Dari lalu, kini dan nanti. Sudah kubilang semua. Segala
bentuk sakit. Entah harapan, kecewa, dan penantian. Aku pencerita yang mulai
mengantuk. Mencoba mengingat lamat – lamat tentang apa dan siapa. Kubaca lagi
ceritaku, tebak – tebak siapa dan kenapa. Setiap kata yang dikandung melahirkan
banyak anak – anak sangsi. Aku ingat bahwa ini untukmu, namun tenunan huruf ada
namanya. Aku ingat ini sakitku, tetapi resep tercatat untuknya.
Sakit apa yang tidak punya obat?
Setiap luka punya penyebabnya sendiri. Dari duri sampai diri. Malam tercekik
oleh tali – tali simpul kata indah buatan penyair. Dalam cerita bahkan ada ratu
yang harus turun tahta untuk menjumpai pangeran di kelas bawah. Ada polisi yang
melanggar aturan supaya dipenjara kebahagiaan. Ada dokter yang ingin sakit
untuk tahu bagaimana reaksi obat. Ada pengusaha gulung tikar, untuk pindah pada
kejayaan kekar.
Bantal – bantal penyandang bahu
berat berbeban rasa sungkan. Bunyi – bunyi perut yang terlalu bising meneriakkan
gengsi. Serta mata yang menjatuhkan derita bersama dengan hilangnya bicara.
Sebelum tertulis, lembar putih
kertas elektrik ini tampaknya sudah menyimpan beberapa rentetan kata yang tidak
akan pernah sampai padamu, atau mungkin saja terlambat. Ada makian, sebagian
pujian. Ada harapan, tapi yang menyakitkan mungkin kekecewaan.
Di surat yang tidak akan ku kirim
ini, akan ku tuangkan segala bentuk rasa selagi aku masih bisa. Biarlah
kenangan mengantarkanku kembali dalam kolom ingatan lampau, membopong badan
yang sedang dalam perawatan sakit hati.
Kutulis beberapa hal tentangmu,
tentang turunan Adam yang menciptakan luka tanpa rasa malu. Kau hari itu
menangis. Katamu, hati bukan sesuatu yang bisa dipaksakan. Cerita kedepan,
bukan sesuatu yang kita bisa rahasiakan. Entah, aku yang terlalu ber-IQ rendah
atau memang kau kurang paham dengan terjemah bahasa. Kudorong ego sampai ujung
jurang paling dalam, untuk menyelamatkan rasa yang sebenernya sudah hilang. Aku
berdiri, kemudian bersujud memohon di hadapan mata buta yang tidak tahu peka.
Kusodorkan semua cinta dalam baki dan tak bersisa.
Di labirin jauh sebelum
persimpangan waktu pertemuanku denganmu, aku juga pernah pilu. Tidak kuingat
tentang apa, namun luka masih berbekas. Kurasa, belajar mengendarai sepeda
adalah salah. Selanjutnya, aku jadi ketagihan tantangan. Persetan dengan semua
manusia yang suka bertualang. Di belakang tubuh yang lantang, mereka hanya
bongkahan ketakutan yang sudah hilang akal.
Nanti, di pusara umur, entah
milikku atau milikmu. Kita akan mematung dalam bisu. Membiarkan semua sel otak
bekerja keras, atau jika itu kamu. Dengan kemeja hitam dan benang kelam, kau
akan membunuh setiap ragu yang berlari satu – satu. Di depan, satria sesal
berpedang paling tajam, berbentuk makian akan dicambukkan pelan – pelan sampai
akhir zaman.
Selamat tinggal dan jaga diri,
Diri.
Selamat malam, Puisi. Selamat
hidup dan jangan lupa mati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar