Senin, 16 Februari 2015

Surat Kesekian

Surat kesekian, Mas. Maaf.

Bukan jarak, pula bukan waktu yang akan saya sumpahi hari ini. Mereka ada di tempat yang sudah seharusnya. Perkara hati, siapa yang bisa melawan rasa? Saya yakin kita sependapat untuk hal itu. Seorang wanita sudah lebih dulu mengisi tempat dalam dadamu, dalam pikirmu bahkan mungkin sudah ada dalam buku lauful mahfudz untuk bab “jodoh”mu. Siapalah saya, Mas? Hanya perempuan pemalu yang sering mengeluh.

Tidak sekali saya memohon pada Tuhan untuk dihadirkan dalam cerita hidupmu. Tidak sekali pula Tuhan memberi tanda bahwa tidak ada jalan. Namun lagi, Mas. Hati saya  masih berpagut dalam satu mulut. Milikmu. Mulut yang tidak berkata apa – apa namun saya bisa mengartikannya. Saya, Mas, dan diam kita adalah hal sempurna yang saya tidak bisa jelaskan kepada mereka. Cinta gila? Saya kira memang iya.

Jika kemudian Tuhan memberi kesempatan untuk menaruh kamu dan saya dalam satu adegan, akan saya terima semua yang akan tertumpah dari bibirmu. Kata, pun kecup. Akan saya ambil semua dari tanganmu. Beban, apalagi peluk. Rebahkan saja semuanya, Sayang. Pundak saya bantal yang terbuat dari bahan paling nyaman. Di dalamnya lelahmu akan hilang.

Atau nanti. Jika memang tidak di saat ini juga tidak apa – apa. Tunggu kamu siap, lalu temui saya dalam keadaan tepat. Kita tidak akan menyalahkan siapa – siapa. Kecuali rasa yang kita tolak sama – sama.

Dari aku,

Pengagum yang kamu (pura – pura) tidak tahu.

1 komentar: