Minggu, 08 Februari 2015

Surat Non Fiktif untuk Kamu yang Adiktif

…Surat ini non fiktif…

Steve, saya benci kamu! Saya tidak bisa menahan jemari saya untuk menulis surat ini. Jemari yang pernah menulis surat cinta kini menulis surat murka. Jarak yang terlampau jauh memisahkan kita saya kira bisa menyembuhkan. Rentan waktu yang lama  antara kita saya pikir bisa membuat lupa. Ternyata tidak. Tentu saja. Harusnya saya sadar dari dulu. Dari surat – surat terakhir saya tidak satupun yang di dalamnya tidak ada jejakmu. Saya terlalu lugu. Saya terlalu batu. Atau bahkan terlalu dungu. Kisah kamu dengan wanita mana yang saya tidak lihat? Kebusukan kamu yang mana yang saya tidak tahu? Nyatanya, rasa saya masih sama. Masih mencinta kepada kamu yang tidak punya malu.

Saya tetap akan keras kepala, untuk tidak menanyakan kabarmu. Saya tetap akan keras kepala, untuk mengumpatmu dengan kata kasar. Saya harus tidak peduli dengan kamu. Harusnya. Namun bagaimana sih caranya? Bagaimana menjadi seperti kamu yang terlalu mudah untuk pergi begitu saja tanpa rasa bersalah? Oh ya, tentu saja. Tanpa cinta. Saya harus jadi orang yang tidak mencinta, seperti kamu. Nyatanya saya sudah jatuh. Terlalu jauh.

Mungkin sudah saatnya saya menyalahkan diri sendiri. Saya yang mungkin terlalu bangsat untuk menjadi insan yang tidak tahu malu. Mencintaimu dengan terlalu membuat saya tidak lagi peka dengan keadaan sekitar.

Saya menangis. Banyak sekali. Saya teriak. Keras sekali. Tapi tidak ada yang berubah. Semuanya masih sama. Saya dan kamu masih terlalu bangsat untuk menjadi diri masing – masing.

Teruntuk kamu yang adiktif, ampuni saya. Biarkan saya mencintai dia yang lebih setia. Biarkan saya hidup bahagia seperti mereka.

Tolong saya.

3 komentar:

  1. Perasaan manusia memang tidak bisa ditebak apalagi dikendalikan. Tetapi perasaan itu bisa dilatih :)

    BalasHapus
  2. Semoga saya bisa melatih menjadi jauh lebih baik. Terima kasih karna sudah membaca surat saya ya :)

    BalasHapus
  3. Membaca suratmu dengan secangkir kopi memang begitu nikmat, tak mampu berhenti :)

    BalasHapus