Untuk
lelaki lima waktuku..
Pagi
yang terlalu awal waktu itu. Kutengok jam digital di handphone model lama
milikku. Jam tiga lewat dua puluh. Kupaksa mataku membuka sempurna. Kukerahkan tenaga
untuk membuat tubuhku yang berat ini agar bisa berdiri melangkah menuju pintu
kamar dengan hati – hati. Aku takut membangunkan
adikku, yang aku rasa baru saja tertidur dua jam lalu. Aku bisa menebak dari
wajah cantiknya sebagian terlihat tertumpuk oleh buku – buku.
Kuputar
keran air setengah lingkaran, kemudian membaca niat “Nawaitu lillahi ta’ala”
dan mulai membasuh tangan dan berakhir di kaki kiri dan kanan.
Kubentangkan
sajadah coklat seperti warna batik yang kerap kau gunakan ke kantor di hari
Jum’at. Kulafadzkan niatku, takbirku dan Al - fatihahku. Aku tenggelam dalam
rapal doa memuja Sang Kuasa. Tenggelam dalam sujud tahajjud delapan rakaat
berdoa ke Sang Pencipta. Kupinta namamu dalam doa. Jika jodohku kamu, semoga
dimudahkan. Jika jodohku kamu semoga segera dipersatukan. Setiap langkah yang
aku lakukan, kuharap kau adalah tujuan.
Aku
menunggu adzan subuh sambil mengenggam tasbih dari kayu pulka yang berukuran
seperti bola hitam matamu. Mata indah yang selalu aku agungkan pencipta-Nya. Mata
indah yang diam – diam selalu kucuri pandang. Mata indah yang membuatku jatuh.
Mata indah yang kuinginkan bisa memandangku tanpa perlu merasa malu.
Subuhku
berlalu. Dua rakaat yang penuh khidmat. Di akhir tahiyat, “semoga hari ini kita
diberkahi”, “kita dimurahkan rejeki”, tentu jadi doa yang kupanjat. Kemudian aku
bersiap, memulai hari dengan kau orang yang pertama yang ingin aku lihat.
Tadi
pagi, kau hanya lewat. Tidak menyapa ataupun mengajak bicara. Sudah biasa. Aku
juga perempuan yang selalu saja membuang muka ketika kita bertemu mata. Rasanya
tak pantas, aku takut terlalu jauh. Terlalu jatuh. Ah, biarlah. Akan kupinta
lagi kau dalam dhuhurku.
Kubuka
hijab penutup aurat di ruang wudhu kantor kita, mengucap niat dan menjalankan
syariat. Kupercepat langkah kaki pendek milikku, mengejar shaft yang kuharap
kau imamkan. Langkahku terhenti, ketika melihatmu di kursi depan musholla
memasang kaos kaki. Seperti sudah ingin pergi. Ah, harusnya tadi aku tidak
perlu merapikan riasanku. Membuang waktu.
Aku
bertakbir, melipat kedua tangan, dan tenggelam lagi dalam ingatan. Tenggelam
dalam pujian dan dalam doa yang tak berkesudahan. Kututup empat rakaat siangku
dengan salam. Bertasbih dan bershalawat panjang, menangkupkan kedua tangan dan
mohonkan agar kita disehatkan. Mohonkan agar kita disempurnakan dalam satu
ikatan.
Kulewati
jam – jam singkat sambil sesekali melihat dalam ruangan kerjamu yang tak
bersekat. Menontonmu bekerja begitu keras hanya bisa membuatku berdecak. Kagum.
Kau begitu fokus, begitu serius sampai kurasa kau lupa untuk bernafas. Aku
tentu saja sering iri pada komputer yang selalu kau beri perhatian lebih. Haha.
Tidak
lama, asharku menyapa. Kuulang adegan dalam ruang wudhu kantor kita. Kupercepat
lagi langkahku sambil harap – harap cemas apakah kau sudah di musholla. Tak
ada. Tapi tak apa. Aku bisa mengulang doa
yang sama untuk kau yang di sana bahkan sampai dikali sejuta.
Waktunya
untuk pulang. Kurapikan semua barang – barang di atas meja kerja yang sebagian
besar kupakai untuk melamunkanmu. Ssst.. Jangan sampai ketahuan bosku. Haha.
Kurapikan lagi hijab, rok dan sepatuku. Paling tidak, aku berharap bertemu
denganmu di ujung hariku. Dan yak, kulihat kau melangkah cepat sambil tersenyum
hangat kepada teman – teman di depan pagar kantor yang berkarat. Aku harap,
kelak senyum itu pula yang kau tunjukkan kepadaku ketika kau pulang bekerja, di
rumah kita.
Aku
baru selesai mandi ketika adzan magrib tengah terjadi. Kugelar kembali sajadah
coklat dalam jamaah yang diimamkan ayah. Tepat di sebelah sajadah abu – abu
milik ibu. Aku hilang dalam lantunan merdu bacaan ayah, aku hilang dalam puja –
puji kepada Sang Esa. Tiga rakaatku selesai. Salam kanan dan kiri kemudian sunnah
ba’diyah kujalani. Kembali, kuangkat dua tangan memohon agar kau jadi pemilik
hati, jadi seorang suami di keluarga kita yang dirahmadti.
Kukecup
kedua tangan ibu dan ayahku, dan memohon restu agar hari ini diampuni dosaku,
diberkahi langkahku dan didekatkan jodohku. Yang kuharap itu kamu.
Kutunggu
isyaku sambil membaca Al – Qur’an. Memahami semua perintah-Nya serta larangan.
Sambil memikirkan, akan seperti apa anak kita kelak ketika Al - Qur’an
diajarkan. Ah. Yaa Tuhan. Aku mohon kabulkan. Kututup hariku dalam empat rakaat
syahdu. Memuja pencipta atas hari yang begitu megah, atas anugerah yang tak
sudah – sudah. Kututup hariku meminta agar kau dan aku jadi kita. Kau dan aku
yang namanya tertulis dalam Lauhul Mahfudz-Nya.
Untuk
lelaki lima waktuku, karena-Nya aku mencintaimu. Dan hanya kepada-Nya aku mampu
memohon agar kita segera bersatu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar