Aku dan surat ini minta waktu
untuk membahas rindu.
Mas, apa kabarmu? Dulu, handphoneku akan berdering di jam
– jam tertentu. Entah pesan usil darimu, atau suaramu dan denting gitar yang
beradu.
Mas, beberapa waktu lalu aku
mampir ke tokomu. Jika kau ingin tahu, sehat sekali ibumu. Beliau duduk dengan
mengenakan baju dan jilbab ungu. Kulihat sesekali membetulkan letak kacamatanya
sambil menginput barang baru.
Mas, kapan kau akan pulang?
Ajaklah aku jalan – jalan. Jika sempat, kita bisa singgah di tepian sambil
memesan tek – tek mercon dan mengeluh kepedesan. Mari kembali mengakrabkan diri
seperti beberapa tahun silam.
Mas, bagaimana kuliahmu?
Sepertinya lancar jaya. Dengan berbekal pacar yang nyaris sempurna, di sana kau
akan baik – baik saja. Semoga.
Mas, apa kabar kota Jogja?
Masihkah tiap sudutnya punya cerita? Kau selalu bilang Jogja adalah definisi indah
yang sebenarnya. Katamu Jogja bisa dibilang teras surga. Tempatmu untuk bahagia
sepuas – puasnya.
Mas, beberapa hari ini langit
Samarinda sedang usang. Tidakkah kamu pikir karena senyummu yang hilang? Atau
mungkin itu hanya aku yang punya dugaan? Pernah aku bilang bahwa sekarang ruas
jalan Samarinda penuh dengan angkringan? Ah ya, kau bilang isinya hanya cabe –
cabean sedangkan Angkringan Jogja tempat lahirnya seniman.
Mas, dari Jogja ke Samarinda itu
jauh. Namun karena kamu, aku hanya cukup membuka buku dan mendapatimu dalam
lembar rapuh. Memperhatikanmu menenun waktu, dari tanggal satu sampai tiga puluh. Dari bulan safar
sampai syawal.
Mas, berkunjunglah. Jika memang
di Samarinda kau anggap bukan rumah maka kau boleh kesini untuk tamasya. Akan
kuhamparkan tikar bambu di taman pintar jalan Ruhui Rahayu. Setelahnya, kau
boleh bebas menyandungkan lagu – lagu. Atau mungkin menggambar mimpi baru.
…bersamaku…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar