Rabu, 04 Februari 2015

Jogja dan Samarinda




Aku dan surat ini minta waktu untuk membahas rindu.

Mas, apa kabarmu? Dulu, handphoneku akan berdering di jam – jam tertentu. Entah pesan usil darimu, atau suaramu dan denting gitar yang beradu.

Mas, beberapa waktu lalu aku mampir ke tokomu. Jika kau ingin tahu, sehat sekali ibumu. Beliau duduk dengan mengenakan baju dan jilbab ungu. Kulihat sesekali membetulkan letak kacamatanya sambil menginput barang baru.

Mas, kapan kau akan pulang? Ajaklah aku jalan – jalan. Jika sempat, kita bisa singgah di tepian sambil memesan tek – tek mercon dan mengeluh kepedesan. Mari kembali mengakrabkan diri seperti beberapa tahun silam.

Mas, bagaimana kuliahmu? Sepertinya lancar jaya. Dengan berbekal pacar yang nyaris sempurna, di sana kau akan baik – baik saja. Semoga.

Mas, apa kabar kota Jogja? Masihkah tiap sudutnya punya cerita? Kau selalu bilang Jogja adalah definisi indah yang sebenarnya. Katamu Jogja bisa dibilang teras surga. Tempatmu untuk bahagia sepuas – puasnya.

Mas, beberapa hari ini langit Samarinda sedang usang. Tidakkah kamu pikir karena senyummu yang hilang? Atau mungkin itu hanya aku yang punya dugaan? Pernah aku bilang bahwa sekarang ruas jalan Samarinda penuh dengan angkringan? Ah ya, kau bilang isinya hanya cabe – cabean sedangkan Angkringan Jogja tempat lahirnya seniman.

Mas, dari Jogja ke Samarinda itu jauh. Namun karena kamu, aku hanya cukup membuka buku dan mendapatimu dalam lembar rapuh. Memperhatikanmu menenun waktu, dari tanggal  satu sampai tiga puluh. Dari bulan safar sampai syawal.

Mas, berkunjunglah. Jika memang di Samarinda kau anggap bukan rumah maka kau boleh kesini untuk tamasya. Akan kuhamparkan tikar bambu di taman pintar jalan Ruhui Rahayu. Setelahnya, kau boleh bebas menyandungkan lagu – lagu. Atau mungkin menggambar mimpi baru.

…bersamaku…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar