“Kau yakin dengan keputusanmu?”
“...Maafkan aku, Rud.” Lisa tidak berani menatap mata Rudi.
“...Maafkan aku, Rud.” Lisa tidak berani menatap mata Rudi.
“Lima tahun kita nyiapin ini semua, Lis. Kau tahu aku
bekerja lebih keras dari batas kemampuan yang aku bisa. Dan sekarang, lima
puluh menit sebelum aku mengucap janji suci di hadapan orang tuamu dan
penghulu, kamu ingin semuanya berakhir? Begitu saja?”
Tangis Lisa pecah. Tempat tidur yang seharusnya malam nanti
dibasahi dengan keringat bahagia kini malah dibanjiri dengan air mata duka.
“Aku tidak paham apa maumu, Lis. Aku pikir kita baik – baik saja.
Tentu, aku bukan tidak tahu bahwa kau berubah semenjak pindah tempat kerja.
Tidak sekali aku memergokimu makan dengan lelaki yang sama di rumah makan dekat
kantormu. Teman – teman ku pun sering mengadu padaku. Namun aku tetap mencoba
berpikir positif. Kukira dia hanya temanmu. Ternyata...”
“...”
“Lima tahun bukan waktu yang sebentar, Lis. Sudah banyak
yang kita lalui, sudah banyak yang kita korbankan. Apa sih yang membuatku kalah
darinya?”
Lisa menatap laci meja di sampingnya. Di dalamnya, ada test
pack dengan dua garis.
“Sekarang, apa yang harus kukatakan pada semua orang yang
menunggu kita di sana? Lima tahun perjuangan kita, kamu hancurin dalam lima
puluh menit. Aku....Hah.”
"..."
“Aku tidak akan pernah tega untuk menyakitimu dan kamu tahu
itu, Lis. Kalau memang keputusanmu sudah seperti ini, aku bisa apa? Sekarang,
panggil Rian. Suruh dia kesini dan kita selesaikan semuanya. Aku bisa
meminjaminya setelan jas ini. Pak penghulu pun sudah menunggu. Lalu apa lagi?”
Lisa mengambil hanphone dari laci tadi. “Halo. Rian? Aku
tunggu di rumah sekarang.” Tak bisa dipungkiri, ada seulas senyum yang tampak
dari wajah Lisa. Sementara Rudi, menatap pantulan dirinya di cermin lemari
milik Lisa. “Memecahkan ini pasti hanya butuh satu pukulan.” Pikirnya.
Flash Fiction ini ditulis untuk mengikuti program #FF2in1 dari Tiket.com dan nulisbuku.com #TiketBaliGratis
Tidak ada komentar:
Posting Komentar