Rabu, 18 Februari 2015

Lima Puluh Menit Terakhir

“Kau yakin dengan keputusanmu?”
“...Maafkan aku, Rud.” Lisa tidak berani menatap mata Rudi.

“Lima tahun kita nyiapin ini semua, Lis. Kau tahu aku bekerja lebih keras dari batas kemampuan yang aku bisa. Dan sekarang, lima puluh menit sebelum aku mengucap janji suci di hadapan orang tuamu dan penghulu, kamu ingin semuanya berakhir? Begitu saja?”

Tangis Lisa pecah. Tempat tidur yang seharusnya malam nanti dibasahi dengan keringat bahagia kini malah dibanjiri dengan air mata duka.

“Aku tidak paham apa maumu, Lis. Aku pikir kita baik – baik saja. Tentu, aku bukan tidak tahu bahwa kau berubah semenjak pindah tempat kerja. Tidak sekali aku memergokimu makan dengan lelaki yang sama di rumah makan dekat kantormu. Teman – teman ku pun sering mengadu padaku. Namun aku tetap mencoba berpikir positif. Kukira dia hanya temanmu. Ternyata...”

“...”

“Lima tahun bukan waktu yang sebentar, Lis. Sudah banyak yang kita lalui, sudah banyak yang kita korbankan. Apa sih yang membuatku kalah darinya?”

Lisa menatap laci meja di sampingnya. Di dalamnya, ada test pack dengan dua garis.

“Sekarang, apa yang harus kukatakan pada semua orang yang menunggu kita di sana? Lima tahun perjuangan kita, kamu hancurin dalam lima puluh menit. Aku....Hah.”

 "..."

“Aku tidak akan pernah tega untuk menyakitimu dan kamu tahu itu, Lis. Kalau memang keputusanmu sudah seperti ini, aku bisa apa? Sekarang, panggil Rian. Suruh dia kesini dan kita selesaikan semuanya. Aku bisa meminjaminya setelan jas ini. Pak penghulu pun sudah menunggu. Lalu apa lagi?”

Lisa mengambil hanphone dari laci tadi. “Halo. Rian? Aku tunggu di rumah sekarang.” Tak bisa dipungkiri, ada seulas senyum yang tampak dari wajah Lisa. Sementara Rudi, menatap pantulan dirinya di cermin lemari milik Lisa. “Memecahkan ini pasti hanya butuh satu pukulan.” Pikirnya.

Flash Fiction ini ditulis untuk mengikuti program #FF2in1 dari Tiket.com dan nulisbuku.com #TiketBaliGratis

Tidak ada komentar:

Posting Komentar