Rabu, 18 Februari 2015

Lima Puluh Menit Terakhir (2)

“Ok. Tunggu di sana ya, Lis.”

Rian menginjak pedal gas mobilnya. Melaju kencang menuju rumah Lisa. Dalam perjalanan, banyak sekali yang Rian pikirkan. Rian kembali mengingat pertemuan pertamanya dengan Lisa. Di kantin kantor mereka. Rian memegang lengan kirinya sambil tersenyum tipis. Ia bahkan masih bisa mengingat panas kuah soto yang tidak sengaja ditumpahkan Lisa beberapa bulan lalu. Hari ini Rian benar – benar mengucap syukur paling tulus, akhirnya dia bisa bersama Lisa selama apapun yang dia bisa. Tidak seperti kemarin – kemarin, mau makan siang saja harus sembunyi – sembunyi. Namanya juga jadi selingkuhan.

***

PRAAAANGGG!

“RUDI! JANGAN! RIAN BISA MATI RUD!”

“BIARIN! EMANG ITU YANG AKU MAU, LIS! KALIAN TIDAK AKAN BISA BERSAMA! SELAMANYA!”

Sementara itu, Rian bersimbah darah. Entah kerasukan setan mana, Lisa mengambil serpihan kaca dan menusuk punggung Rudi yang membuatnya terhuyung. Darahnya kini bercampur dengan darah Rian. Sementara keadaan di luar kamar kacau setelah mendengar pecahan kaca dari dalam kamar Lisa. Tetiba semuanya menjadi lebih kacau.

***

Rian membuka matanya perlahan. Mencoba mengumpulkan ingatan terakhir. Yang bisa diingat hanya Lisa bersimpuh di depannya. Menangis sejadi – jadinya. Rian membalikan tubuhnya, dilihatnya Rudi di tempat tidur sebelahnya dalam keadaan tidak sadarkan diri.

Rian menimbang apa yang akan dilakukannya kemudian. Dia menatap Rudi lama sekali.

“Rud, Maafin aku. Lisa memang milikmu. Aku khilaf. Aku bukan tidak sayang dengannya, namun ada kewajiban yang harus aku dahulukan. Jika memang harus menunggu 1000 tahun, atau bahkan di kehidupan kedua aku sanggup. Mungkin memang tidak sekarang. Selamat ya.”

Rian bangkit dan melangkah keluar. Dia harus memikirkan alasan untuk di rumah nanti. Apa yang dia harus katakan kepada istrinya tentang semua ini?

Flash Fiction ini ditulis untuk mengikuti program #FF2in1 dari Tiket.com dan nulisbuku.com #TiketBaliGratis 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar