Saya tidak akan menanyakan kabarmu. Saya tahu kamu baik – baik saja dari recent update
yang baru saya baca sepuluh menit lalu. Saya pikir lagi, pertemuan denganmu
cukup mengesankan. Dan mengesalkan. Namun tak menyesalkan.
Saya dan kamu
pertama kali bertemu di klub kegiatan kampus untuk mahasiswa baru, jika kamu tidak
ingat. Sebenarnya saya pun ragu namun ketika
saya paksa ingatan kembali ke masa lalu, saya yakin bahwa memang benar
saya dan kamu bertemu untuk pertama kali di hari sabtu pada suatu pagi sekitar
jam sepuluh. Tahun 2009.
Saat itu, kamu
menjadi salah satu mahasiswa yang terlalu gaduh. Membuat suasana riuh. Sangat
tidak membuat nyaman. Saya adalah tipe pembelajar yang butuh keheningan.
Kefokusan saya akan pecah ketika ada suara. Dan pada hari itu saya secara resmi
membenci tingkah lakumu.
…kemudian mari
kita skip moment – moment yang membuat saya jadi menyukaimu…
Yak, akhirnya
saya jatuh. Orang selalu bilang benci dan cinta beda tipis. Saya telah
membuktikannya. Saya jatuh padamu, pria gaduh yang punya selera humor yang
kacau. Entah bagaimana caranya, mungkin saja dari kumis tipis atau kulit hitam
manis yang kamu punya. Atau mungkin saja dari kelembutanmu memperlakukan
wanita, atau mungkin saja kisah hidupmu yang tak sengaja saya dengar dari beberapa
teman kelas kita.
Saya pernah bilang bahwa saya menyukaimu, kan? Namun hari itu kamu menjawabnya dengan
sangat bangkek sekali. Katamu : “Kita baik – baik saja ketika jadi teman. Nanti
kalau pacaran, cuma bakal merusak hubungan.”. Bilang saja terus terang bahwa
kamu naksir sama sahabat saya.
Haha. Lucu jika
mengingat kenangan dulu. Namun sekarang, kita adalah dua orang dewasa yang
sedang semangat – semangatnya mengejar cita – cita. Kini, rasa itu sudah saya
jamin tidak ada lagi. Kini, rasa itu saya jamin tidak akan kembali lagi. Saya
bisa bilang kamu special karena kamu berhasil membuat saya move on. Meski kamu
tidak saya miliki, saya tidak merasa rugi. Kamu tidak akan pernah tahu apa yang
telah kamu lakukan sampai saya akhirnya bisa menyelesaikan perasaan saya untuk
dia. Saya pernah sakit sekali, dan kamu datang begitu saja sebagai obat hati.
Terima kasih. Sejak pertemuan saya dengan kamu, saya menyadari bahwa “…for the first time in forever I won’t be
alone…”. Siklus benci jadi cinta denganmu sampai sekarang masih membuat
saya takjub. Memang, Tuhan maha pembolak – balik hati. Nah, mulai dari hari ini. Yuk, temenan. Hehe.
Terakhir. Maafkan
saya untuk surat yang (mungkin) tidak akan sampai ini. Maafkan saya untuk rasa
yang pernah membebani. Maafkan saya untuk tugas statistik yang tidak sengaja
saya bawa pulang dan membuatmu tidak mendapat nilai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar