Senin, 02 Februari 2015

Yuk, temenan



Saya tidak akan menanyakan kabarmu. Saya tahu kamu baik – baik saja dari recent update yang baru saya baca sepuluh menit lalu. Saya pikir lagi, pertemuan denganmu cukup mengesankan. Dan mengesalkan. Namun tak menyesalkan.

Saya dan kamu pertama kali bertemu di klub kegiatan kampus untuk mahasiswa baru, jika kamu tidak ingat. Sebenarnya saya pun ragu namun ketika  saya paksa ingatan kembali ke masa lalu, saya yakin bahwa memang benar saya dan kamu bertemu untuk pertama kali di hari sabtu pada suatu pagi sekitar jam sepuluh. Tahun 2009.

Saat itu, kamu menjadi salah satu mahasiswa yang terlalu gaduh. Membuat suasana riuh. Sangat tidak membuat nyaman. Saya adalah tipe pembelajar yang butuh keheningan. Kefokusan saya akan pecah ketika ada suara. Dan pada hari itu saya secara resmi membenci tingkah lakumu.

…kemudian mari kita skip moment – moment yang membuat saya jadi menyukaimu…

Yak, akhirnya saya jatuh. Orang selalu bilang benci dan cinta beda tipis. Saya telah membuktikannya. Saya jatuh padamu, pria gaduh yang punya selera humor yang kacau. Entah bagaimana caranya, mungkin saja dari kumis tipis atau kulit hitam manis yang kamu punya. Atau mungkin saja dari kelembutanmu memperlakukan wanita, atau mungkin saja kisah hidupmu yang tak sengaja saya dengar dari beberapa teman kelas kita.

Saya pernah bilang bahwa saya menyukaimu, kan? Namun hari itu kamu menjawabnya dengan sangat bangkek sekali. Katamu : “Kita baik – baik saja ketika jadi teman. Nanti kalau pacaran, cuma bakal merusak hubungan.”. Bilang saja terus terang bahwa kamu naksir sama sahabat saya.

Haha. Lucu jika mengingat kenangan dulu. Namun sekarang, kita adalah dua orang dewasa yang sedang semangat – semangatnya mengejar cita – cita. Kini, rasa itu sudah saya jamin tidak ada lagi. Kini, rasa itu saya jamin tidak akan kembali lagi. Saya bisa bilang kamu special karena kamu berhasil membuat saya move on. Meski kamu tidak saya miliki, saya tidak merasa rugi. Kamu tidak akan pernah tahu apa yang telah kamu lakukan sampai saya akhirnya bisa menyelesaikan perasaan saya untuk dia. Saya pernah sakit sekali, dan kamu datang begitu saja sebagai obat hati. Terima kasih. Sejak pertemuan saya dengan kamu, saya menyadari bahwa “…for the first time in forever I won’t be alone…”. Siklus benci jadi cinta denganmu sampai sekarang masih membuat saya takjub. Memang, Tuhan maha pembolak – balik hati. Nah, mulai dari hari ini. Yuk, temenan. Hehe.

Terakhir. Maafkan saya untuk surat yang (mungkin) tidak akan sampai ini. Maafkan saya untuk rasa yang pernah membebani. Maafkan saya untuk tugas statistik yang tidak sengaja saya bawa pulang dan membuatmu tidak mendapat nilai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar