Barangkali keberadaan surat ini
jadi pikiran di benakmu yang penuh dengan keindahan kata. Namun entah
bagaimana, rasanya senang membayangkannya. Sebelum mencapai paragraf dua,
kukenalkan seorang wanita yang mendadak jadi penikmat rangkaian kata yang kau unggah
di sosial media. Icha. Kita bisa memulainya dengan nama, untuk kelanjutan
cerita, mari menunggu takdir Tuhan sebagai penentunya.
Mengagumi menjadi salah satu
kebiasaanku, Tuan. Tidak apa – apa jika kupanggil Tuan? Secara resmi memang
kita belum berkenalan. Aku yang menyapa dan menyebutkan nama duluan. Dari
sekian panggilan sopan, kurasa “Tuan” adalah yang paling berkesan. Mungkin
alasannya sederhana, biar lebih kepepuisian.
Haha, untuk candaanku yang tidak lucu, maafkan.
Kuharap kekagumanku tidak menyusahkan.
Jika ternyata mengungkapkannya membuat Tuan tidak nyaman, sekali lagi maaafkan.
Entah sejak kapan kepalaku mulai kepikiran tentang surat – surat yang Tuan
tuliskan. Tiba – tiba saja kutemukan diriku menjadi kecanduan. Setiap petang
seusai adzan, aku akan memulai kebiasaan baruku membuka blog Tuan. Dengan
sangat tekun, halaman demi halaman
kubaca pelan. Menyesapi setiap kata yang tertuang, setiap makna yang ingin Tuan
sampaikan. Indah sekali, Tuan. Tentang pujian, ini masih kurang menggambarkan
dari yang Tuan pantas dapatkan.
Jika tidak salah terka, Makassar
adalah kota tempat sekarang Tuan berada. Kota tempatku lahir dan besar sampai remaja.
Namun setelah Ayah merasa nafkah mulai susah dicari di sana, beliau memutuskan untuk
pindah ke kota Samarinda. Mungkin untuk kali pertama, meskipun masih SD kelas
lima aku sudah tahu arti berpisah. Hari itu aku menangisi tetangga, keluarga
dan teman sekolah yang tak bisa kuajak ikut pindah. Makassar, kota besar dengan
segala hingar bingar, tentang preman yang tersebar. Orang – orang yang kurang
berbekal rasa sabar. Aku tidak asal cecar, namun begitulah keadaan penduduk
sekitar. Meskipun begitu, aku mencintai kota Makassar. Budaya sopannya
mengakar, menandakan mereka juga terpelajar. Sepertinya batas curhat sudah
kulanggar. Maafkan aku untuk curhat yang tidak kelar – kelar.
Tuan, surat ini bukan apa – apa
jika dibandingkan dengan keahlianmu merangkai kata. Melalui kata yang Tuan
sandingkan bersama, bisa tercipta bahagia. Tidak jarang luka. Boleh aku
bertanya? Sihir apa yang Tuan pakai di pena sampai bisa membuat dunia maya
lebih kucari dari nyata? Beberapa saat setelah #30HariMenulisSuratCinta,
fokusku jadi tertuju linimasa @zulkipeputra. Beberapa kali pernah kubaca bahwa
rasa sakitlah yang bisa membuat karya melegenda. Ah, aku mengucap seribu doa.
Semoga untuk karyamu bukan sakit dalangnya.
Iri sudah pasti pernah.
Melihatmu, memahat kata sepertinya mudah. Sementara aku harus menguras otak dan
tenaga untuk bisa menghasilkan sebuah karya. Itupun seadanya. Lain dengan milikmu
yang nyaris sempurna. Tetapi aku tidak akan menyerah untuk menciptakan karya.
Kan yang menjadi tujuan utama adalah menumpahkan segala rasa. Menuangkan cerita
– cerita yang kadang kala tidak bisa tercipta di lidah. Indah atau tidak, bukan
masalah.
Tuan, betulkah kata yang kau tabur hanya pinjaman? Jika begitu, kapan akan tuan kembalikan? Apa jaminan untuk meminjam kata yang sebegitu indah bukan kepalang? Tolong jangan bilang jika harga yang harus dibayar untuk meminjam adalah kenangan. Kalau memang iya, pasti perihnya tak tertahan.
Tuan, suratku sampai pada
paragraf akhir. Jangan cari ide cerita yang terlahir. Sungguh di dalam surat
ini hanya tumpahan rasa getir yang muncul karena keahlian mutakhir. Bila nanti
aku ada di kota kita, bisakah rasa kagumku dipertemukan dengan pemiliknya? Pinggir
pantai losari bisa jadi tempatnya. Tuan juga bisa cerita (atau mengenalkannya padaku) tentang wanita bernama
Maneka yang kuyakin cantik parasnya. Doaku mengudara, semoga kalian selalu
bahagia. Bersama.
Dariku,
orang perumnas sudiang yang biasa ji kodong tapi mau jadi teman
ta’.